Saat ini, lingkungan pendidikan di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Tantangan itu, terkait dengan tiga dosa besar yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nadiem Makarim yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi. Hal ini tentu menjadi keprihatinan ketika lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif. Sehingga setiap peserta didik dapat mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari proses pendidikan itu sendiri. 

Merespon hal tersebut, INSPIRASI Foundation mengadakan webinar dengan judul Menebus 3 Dosa Besar Pendidikan dengan Kesetaraan Gender & Inklusi Sosial di Sekolah pada Rabu, 18 Januari 2023 lalu. Acara tersebut mengundang beberapa narasumber untuk berbagi mengenai pentingnya pemangku kebijakan dan satuan pendidikan merespon isu 3 dosa besar tersebut secara serius. 

Beberapa narasumber tersebut diantaranya Komisioner Komnas Perempuan Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D.,; Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Abdulah Mukti, S.Pd.I. M.Pd.,; Project Officer Program Sekolah Responsif Gender – INSPIRASI Foundation Aloysius Bram; dan Facilitator Officer Program CREATE – Yayasan HSI Ainur Khafifah. Selain itu juga turut hadir Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Republik Indonesia Rusprita Putri Utami, S.E., M.A  sebagai penanggap.

Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D masih banyak kekerasan dan diskriminasi gender terjadi di lingkungnan pendidikan. Hal ini menjadi urgensi tersendiri untuk mewujudkan pendidikan yang bebas dari kekerasan dan menjadikan hak asasi manusia berbasis gender sebagai wawasan. “Salah satu inisiatif yang sudah dilakukan oleh Komnas Perempuan bersama dengan Kemendikbud adalah bersama-sama membuat Instrumen Standar Setting Kawasan Bebas Kekerasan (ISS-KBK) untuk dapat diimplementasikan di satuan pendidikan,” jelas Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D. 

Sedangkan menurut Abdulah Mukti, M.Pd., penanganan 3 dosa besar di lingkungan pendidikan tersebut memerlukan langkah yang lebih komprehensif melalui pendidikan karakter. “Pendidikan karakter membangun peserta didik secara lebih komprehensif. Mulai dari tingkat habitus, komitmen, hingga konstitusi atau aturan yang disepakati bersama untuk mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi sosial di sekolah”, ujarnya pada kesempatan tersebut.

Usaha untuk memprioritaskan keseteraan gender dan inklusi sosial di lingkungan pendidikan juga dilakukan oleh INSPIRASI Foundation melalui project Sekolah Responsif Gender untuk Mencegah Anak Beresiko Putus Sekolah. Selama program, bersama 30 sekolah di Pemalang, INSPIRASI berkolaborasi untuk merancang pencegahan anak putus sekolah yang komprehensif. Project Officer program Sekolah Responsif Gender INSPIRASI, Aloysius Bram menyebutkan bahwa masalah-masalah anak putus sekolah masih berkait erat dengan ketidakadilah gender. “Program tersebut mengajak warga sekolah untuk lebih peka dan komprehensif melihat permasalahan anak putus sekolah. Mulai dari identifikasi masalah sampai pelibatan orang tua dan komunitas masyarakat,” terangnya. 

Selain itu praktik baik pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi sosial juga dibagikan oleh Facilitator Officer Project CREATE – Yayasan HSI Ainur Khafifah. Ia menceritakan bagaimana program CREATE oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial berusaha untuk mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi sosial di sekolah dengan menggabungkan daya kreatif seni dan perencanaan strategis aktivisme dalam proses berkaryanya atau kerap disebut artivisme.

Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek RI, Rusprita Utami mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh berbagai lembaga untuk membantu mengentaskan isu kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di lingkungan Pendidikan. “Hal tersebut selaras dengan usaha yang dilakukan oleh Kemendikbudristek melalui Pusat Penguatan Karakter yang dipimpinnya,” kaa Ruspirta Utami mengapresiasi.

 

Simak jalannya webinar melalui: 

PART 1

PART 2